Senin, 16 Juli 2012

Awal Mula Facebook


Jika materi adalah barometer kesuksesan seseorang, maka Mark Zuckerberg sangat layak disebut sebagai orang sukses, karena kini ia berada di urutan teratas pemuda paling tajir di dunia lewat sebuah situs jejaring sosial terpopuler saat ini: Facebook. Semua pengguna internet tentu tahu Facebook. Hampir semua pengguna internet pun mempunyai akun di situs ini dan terhubung dengan orang-orang di dunia maya, di sekitarnya, kenal atau tidak kenal.
Dengan Facebook, pola pertemanan kita berubah. Kita tak lagi harus bertatap muka, saling menyebut nama, lantas bersalaman secara langsung untuk membina pertemanan. Lebih dari itu, dengan Facebook, kita bisa mengubah dunia di sekeliling kita. Sejumlah negara di Timur Tengah sudah merasakan efek Facebook. Olehnya, sejumlah negara otoriter memilih untuk berhati-hati situs ini. Walhasil, Facebook memang begitu fenomenal. Facebook, meminjam istilah komentator postmodernisme Tanah Air, Yasraf Amir Piliang, telah melipat dunia. Dunia yang begitu luas, menjadi begitu kecil dengan sebuah situs.
Meski sangat populer, tak banyak yang tahu bagaimana hal-ihwal di balik pembuatan Facebook. Lewat bukunya, The Accidental Billionaires, Ben Mezrich menyajikan hal-ihwal tersebut. Buku dengan gaya novel yang ditulis berdasarkan hasil wawancara dengan sejumlah tokoh yang berhubungan dengan kemunculan Facebook inilah yang juga menjadi pijakan pembuatan salah satu film laris Holywood, The Social Network.
Bagi penyuka novel beralur cepat, membaca The Accidental Billionaires mungkin membosankan. Novel ini cenderung lambat. Namun, dalam kelambatan alur ini, Ben Mezrich tampak berusaha seakurat mungkin menghadirkan konteks penuh di balik kelahiran situs jejaring sosial fenomenal tersebut agar pembaca tidak salah tafsir. Ia seolah sadar akan fakta-fakta yang niscaya ikut dalam kemasan bukunya; tentang nama-nama besar di dunia internet, tempat-tempat legendaris, seperti Universitas Harvard dan Silicon Valley, serta segudang intrik yang mengelilingi dinding rahim prakelahiran Facebook, meski, pada akhirnya, semua berpulang pada tokoh sentral pendiri Facebook itu sendiri, Mark Zuckerberg.
Lahir dari keluarga Yahudi sederhana, Mark telah memperlihatkan kejeniusan di bidang komputer sejak masih duduk di bangku SMA. Kala itu, ia menciptakan add-on MP3. Microsoft pun menawarkan pekerjaan dengan bayaran satu juta dolar, tetapi ia menolak. Ia justru memilih menjadi mahasiswa Jurusan Ilmu Komputer di universitas paling bergengsi di negeri Om Sam, Harvard University.
Ketika masih berstatus sebagai mahasiswa di Universitas Harvard, Mark bukan pribadi sosial. Di luar kelas perkuliahan, ia lebih suka menghabiskan banyak waktunya di depan laptop. Kalaupun ia memiliki teman dekat, maka mereka itu adalah temannya sesama Yahudi, Eduardo Saverin, dan teman sekamar Mark yang juga jenius di bidang komputer, Dustin Moskovitz. Bermodalkan 1000 dolar dari kantong Eduardo yang digunakan guna menyewa server, dan dengan bantuan Chris Hughes, mereka berempat – Mark, Eduardo, Dustin, dan Chris – memulai proyek situs jejaring sosial dengan domain thefacebook.com dari salah satu kamar asrama mahasiswa Harvard.
Hanya dalam beberapa beberapa minggu Thefacebook telah menjaring 85 persen mahasiswa S-1 Harvard untuk memiliki akun dan mengisi profil mereka. Dari Harvard, Thefacebook kemudian memperluas ekspansinya ke universitas-universitas ternama di Amerika Serikat, seperti Yale dan Columbia. Dari sini, popularitas dan jumlah pengguna Thefacebook meningkat tajam. Popularitas di kalangan kampus inilah yang mengundang sosok Sean Parker, pendiri situs music sharing, Napster, yang sudah lebih dulu menjadi fenomena di kalangan netters, tertarik dan berkenalan dengan Mark dan kawan-kawannya. Sean mengusulkan perubahan nama: dari Thefacebook ke Facebook. Di mata Sean, kemurnian dan kesederhanaan adalah kunci kesuksesan di dunia bisnis internet.
Meski Eduardo Saverin dipilih sebagai penanggungjawab sisi bisnis Thefacebook, Sean Parker-lah yang mengantarkan Mark memasuki dunia gemerlap Silicon Valley, tempat yang menjadi pusat teknologi dan bisnis internet di Amerika. Di tempat ini, Mark dibawa ke forum-forum pertemuan bersama para pemodal ventura untuk membicarakan masa depan bisnis Facebook. Ada kalanya, pertemuan ini digelar di tengah gemerlap dunia malam dan ada kalanya pula digelar di gedung-gedung pencakar langit hingga bertemu pendiri PayPal, Peter Thiel, yang bersedia menjadi investor besar Facebook dengan kompensasi: Thiel berhak atas tujuh persen saham Facebook. Kini, sejak dirilis pada tahun 2002, dan meski telah banyak situs jejaring sosial lain bermunculan, yang berusaha menjungkalkan kedigdayaan Facebook, kekuasaan situs ini belum tergoyahkan.
Lewat The Accidental Billionaires, Ben Mezrich tidak hanya mendokumentasikan pribadi Mark Zuckerberg. Dengan lincah, ia menghadirkan sisi lain kehidupan mahasiswa di Universitas Harvard, di sekitar pesta-pesta yang berujung pada seks bebas, kelas-kelas kuliah umum yang tak diminati, hingga persaingan antar grup mahasiswa. Tak lupa, ia juga menghadirkan gambaran gamblang kehidupan Silicon Valley, termasuk hingar-bingar bisnis internet yang tak jarang berakhir di pengadilan dengan ragam tuntutan pelanggaran hak paten. Kalaupun ada celah yang membuat kualitas buku ini patut dipertanyakan, hal itu disebabkan karena Ben Mezrich gagal mendapatkan sumber penyusunan buku ini langsung dari Mark Zuckerberg.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar